Selasa, 01 April 2014

NATIONSTATE

NATIONSTATE
        Nasionalisme dapat menjadi faktor penting dalam membangun dan memperkuat rasa kebangsaan (kesadaran) nasional.  bAkan tetapi, perlu kehati-hatian karena nasionalisme yang dipahami dan diterapkan secara berlebihan justru dapat membahayakan bangsa itu sendiri. Hal ini juga dikarenakan nasionalisme juga memberikan justifikasi intelektual untuk dendam terhadap bangsa lain.  Proses nasionalisme semacam ini dapat mendorong pada upaya untuk mendirikan Maha Negara (empire) dengan cara memuja dan membanggakan bangsa sendiri sampai ke tingkat merasa ras yang paling unggul yang dikodratkan untuk mengatur dan memerintah bangsa-bangsa lain.
        Negara bangsa/nation state adalah suatu  gagasan tentang negara yang didirikan untuk seluruh bangsa atau untuk seluruh umat, berdasarkan kesepakatan bersama yang menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan kesepakatan itu.
        Nation state merupakan hasil sejarah alamiah yang semi kontraktual karena ia muncul secara artifisal dan didesak oleh suatu kebutuhan kontrak sosial, dengan di dalamnya terdapat sebuah ikatan timbal balik yang berbentuk hak dan kewajiban antar negara bangsa dengan warganya di mana nasionalisme merupakan landasan bangunannya yang paling kuat.
        Sebuah  negara bangsa adalah suatu jiwa, sebuah prinsip kerohanian, dengan landasan nasionalisme yang merupakan suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi harus diserahkan kepada negara kebangsaan yang did alamnya terdapat unsur etnisitas, bahasa dan agama sebagai identitas bersama (common identity). Karena ia muncul secara artifisal dan didesak oleh suatu kebutuhan kontrak sosial, dengan di dalamnya terdapat sebuah ikatan timbal balik yang berbentuk hak dan kewajiban antar negara bangsa dengan warganya.
Nasionalisme dapat dikatakakan sebagai sebuah situasi kejiwaan di mana kesetiaan seseorang secara total diabdikan langsung kepada negara bangsa atas nama sebuah bangsa. Dalam situasi perjuangan kemerdekaan, dibutuhkan suatu konsep sebagai dasar pembenaran rasional dari tuntunan terhadap penentuan nasib sendiri yang dapat mengikat ke-ikutsertaan semua orang atas nama sebuah bangsa. Dasar pembenaran tersebut, selanjutnya mengkristal dalam konsep paham ideologi kebangsaan yang biasa disebut dengan nasionalisme. Dari sinilah kemudian lahir konsep-konsep turunannya seperti bangsa (nation), negara (state) dan gabungan keduanya menjadi konsep negara bangsa (nation state) sebagai komponen-komponen yang membentuk identitas nasional atau kebangsaan.

        Setiap orang dalam negaranya masing-masing memiliki nasionalitas yang sama, dan demikian juga bahasa yang sama dan dapat berperan serta dalam perdebatan yang bermakna mengenai kebudayaan, akan tetapi kebanyakan negara adalah multi-kebangsaan yang terdiri dari dua atau lebih komunitas bahasa. Dengan demikian bangsa (nation) merupakan suatu badan atau wadah yang di dalamnya terhimpun orang-orang yang memiliki persamaan keyakinan yang mereka miliki seperti ras, etnis, agama, bahasa dan budaya.  Gabungan dari dua ide tentang bangsa (nation) dan negara (state) tersebut terwujud dalam sebuah konsep tentang negara bangsa atau lebih dikenal dengan Nation-State dengan pengertian yang lebih luas dari sekedar sebuah negara dalam pengertian state.
Dengan demikian, negara bangsa mutlak memerlukan good governance, pengelolaan yang baik, yang bertumpu kepada kemutlakan adanya transparansi, partisipasi terbuka, dan pertanggungjawaban di dalam semua kegiatan kenegaraan di setiap jenjang pengelolaan negara sehingga terbentuk pemerintahan yang bersih. Sebuah bangsa sepatutnya memiliki bangunan politik (political building), seperti ketentuan-ketentuan perbatasan teritorial, pemerintahan yang sah, pengakuan luar negeri dan merupakan akibat langsung dari gerakan nasionalisme yang sekaligus telah melahirkan perbedaan pengertian tentang kewarganegaraan dari masa sebelum kemerdekaan.
        Konsep Negara Bangsa (Nation State) adalah konsep tentang negara modern yang terkait erat dengan paham kebangsaan atau nasionalisme.  Seperti telah didefinisikan di atas, suatu negara dikatakan telah memenuhi syarat sebagai sebuah negara modern, setidak-nya memenuhi syarat-syarat pokok selain faktor kewilayahan dan penduduk yang merupakan modal sebuah bangsa (nation) sebelum menjadi sebuah negara bangsa maka syarat-syarat yang lain adalah adanya batas-batas teritorial wilayah, pemerintahan yang sah, dan adanya pengakuan dari negara lain.

1.         Failed States:  Terjadinya Empire dan Strong States dan Weak States
Dibutuhkan negara yang kuat (strong states) yang dapat mengontrol teritorial dan penduduk mereka.  Pembentukan negara kuat (strong state) bertujuan untuk memudahkan mobilisasi sumber daya guna mewujudkan tidak hanya tujuan negara tapi juga tujuan kekuasaan elite yang memerintah.  Negara kuat bisa dilihat daripada otonomi politik yang diperolehi oleh rakyatnya.  Semakin tidak otonom rakyat dalam menentukan pilihan-pilihan politik, adalah bukti semakin kuat negara tersebut.  Dampak semakin kuatnya kekuasaan negara ialah ancaman terhadap pelaksanaan demokrasi.  Ryaas Rasyid (1994: 16) menyebutkan “State formation aims at increasing the strenght and autonomy of the state.  Strenght state is also measured by the level of authonomy it has inforcing its society.” Menurut Stewart Patrick, dalam “Weak States and Global Threats: Fact or Fiction?” State  strength is relative and can be measured by the state’s ability and the willigness to provide the fundamental political goods associated with statehood : physical security, legitimate political institutions, economic management, and social welfare.

        Di Indonesia misalnya, kecenderungan pembentukan negara kuat ini menjadi agenda politik yang dirancang oleh elite yang berkuasa dari suatu kelompok atau partai politik yang ada.  Tujuannya adalah agar negara, tentunya melalui pemerintah, memiliki kemampuan untuk bertindak berdasarkan kehendak pemerintah untuk mencapai kewujudan agenda politik, ekonomi dan sosial.  Melalui kemampuan elite politik yang menguasai negara, maka lembaga-lembaga negara berkenaan mengarahkan rakyat guna berbuat sesuai dengan keinginan the rulling class. Trauma pada politik masa lalu yang memunculkan instabilitas politik, elite yang berkuasa berupaya mengendalikan politik rakyat dengan cara membentuk negara kuat termasuk dalam berotonomi. Konsep negara kuat disini adalah sebagai negara yang berkuasa/berperan untuk mengatur segala perbedaan yang ada. Negara menggunakan sistem pemerintahannya yang kuat, mengatur seluruh pluralitas kemasyarakatan yang ada. 
Sedangkan Negara lemah (weak states) sebagai negara yang umumnya memiliki perbedaan etnis, religi, bahasa yang menjadi hambatan untuk menjadi negara kuat. Konflik biasanya terjadi secara terbuka, dan korupsi menjadi hal umum. Hukum tidak ditegakkan dan privatisasi institusi kesehatan dan pendidikan menjadi bukti nyata kegagalan negara tersebut. Contoh aktual Negara lemah sejak beberapa tahun lalu yang sedang menuju negara gagal adalah Irak, Belarus, Korea Utara, dan Libya.
        Dalam hal state building akan dijelaskan indikator tentang failed states, strong states dan weak states.  Hal ini dapat digunakan untuk menganalisis transisi-transisi rejim.  Menurut Barry Buzan, kriteria sebuah waek state adalah sebagai berikut
 
1.      Level kekerasan politik tinggi.
2.      Peran polisi politik yang mencolok dalam kehidupan sehari-hari rakyat.
3.      Konflik politik yang serius atas ideology apa yang digunakan untuk mengorganisisr negara.
4.      Kurangnya peranan identitas nasional atau adanya perlawanan dalam hal identitas nasional
dalam negara.
5.      Kurangnya keberadaan hierarki otoritas politik yang jelas terpantau.
6.      Kontrol negara atau media yang tinggi.
Sementara failed states didefiniskan sebagai gambaran bagi weak state di mana pemerintah pusat (yang sah) memiliki sedikit sekali kontrol atas wilayahnya.  Selain itu, negara di mana terdapat dominasi milisi, dan terorisme juga dianggap sebagai failed state.

            Karakteristik weak state yang disebutkan oleh Barry Buzan di atas didukung oleh K.J Holsti mengenai karakteristik sebuah strong state, yaitu bahwa kekuatan negara tidak diukur dari kapabilitas atau power militernya, melainkan dari kapasitasnya untuk mendapat dukungan dari loyalitas warga negaranya (mendapatkan hak untuk berkuasa) untuk mendapatkan sumber daya yang diperlukan untuk menipu dan menyediakan pelayanan bagi rakyat untuk mempertahankan kedaulatan, monopoli atas penggunaan kekuatan bersenjata dalam batasan wilayah tertentu dan beroperasi dalam konteks masyarakat politik yang berdasar atas konsensus.
Karakteristik sebuah strong state sendiri dapat di nilai dari:

1.      Gagasan negara, mewakili sejarah , tradisi, budaya, kebangsaan, dan ideologi.  Dalam hal ini apabila negara tersebut memiliki konsensus dan kesetiaan yang sama dan solid terhadap gagasan negara mereka.  Dampak dari tidak adanya konsensus dalam gagasan negara adalah bahwa institusi – institusi  politik dan basisi kontrol terhadap wilayah negara akan mnejadi lemah.
2.      Dasar fisik negara, negara dikategorikan  sebagai strong state apabila negara tersebut memiliki batasan yang jelas serta kedaulatan penuh atas wilayah, populasi, sumber daya, dan kemakmuran.
3.      Ekspresi institusionalisasi negara, dalam hal ini, strong states dicirikan oleh keberadaan pemerintah dan rejim, penegakan hukum, keberlakuan norma-norma dan pejabat-pejabat negara yang berfungsi secara optimal dalam menggerakan roda negara.  Ketiga elemen di atas slaing berkaitan dan sangat penting untuk menjamin kekuatan negara.
Oleh karena itu dalam proses transisi rejim, state building harus dilakukan untuk mendukung elemen lainnya, yaitu demokrasi dan peacebuilding.


2.                  Beberapa Contoh Kasus Peran Sentral “Nation State” sebagai Perwujudan Nasionalisme 
Indonesia
            Indonesia sendiri merupakan salah satu negara multietnis yang paling problematis sejak pertama kali didirikan. Ide bahwa Indonesia merupakan sebuah teritori yang kita ketahui hari ini tidak ada pada masa pra-kolonial, sampai akhirnya Belanda mematok Sabang sampai Merauke sebagai wilayah koloninya sebagai sebuah unit tunggal. Sayangnya, meskipun secara administratif 'lndonesia' ditangani dengan baik, kesetiaan dan relasi etnis sama sekali tidak diperhatikan bahkan dipecahbelah demi kepentingan dagang. Jika hari ini kita masih dapat merasakan beberapa konflik sosial dan etnis, maka penyebabnya dapat ditarik sejauh masa kekuasaan kolonial Belanda.
Seperti pada kasus Turki, bahasa Indonesia juga menjadi salah satu instrumen utama untuk menyatukan bangsa yang dibayangkan para pendiri negara ini.
Usaha jangka panjang menuju penciptaan 'bangsa Indonesia' dimulai dari perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dan dari itu terciptalah berbagai cita-cita mulia Indonesia sebagai sebuah satuan masyarakat. Sayangnya, nasionalisme etnis Jawa pada awal perkembangan negara yang dijustifikasi oleh jumlahnya yang memang mayoritas menjadi salah satu kelemahan usaha penyatuan Bhineka Tunggal Ika ini. Politik Indonesia yang selama ini dikontrol orang Jawa (pada masa Orde Baru) tidak mentoleransi perbedaan mendasar, non-konformitas, serta alternatif regional. Ketidakinginan Jakarta pada masa itu untuk mengabulkan hak politik dan ekonomi minoritas etnis memperbesar tensi dan kekerasan antar-etnis yang sudah mulai berlangsung bahkan sejak tahun 1945. Hasilnya, kebanyakan warga Indonesia masih sering mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari etnis tersebut daripada dirinya sebagai 'bangsa Indonesia'.Nasionalisme Etnis di Nigeria

            M. A. O. Alulo memiliki pendekatan lain dalam membedakan nasionalisme etnis dan nasionalisme sipil. Menurutnya, nasionalisme etnis merupakan sebuah fenomena sosial yang kompleks. Di satu sisi, ia dapat diartikan sebagai seperangkat kepercayaan mengenai superioritas dan perbedaan antara sebuah kelompok etnis serta melahirkan keinginan membela kepentingannya di atas hal-hal lainnya. Pada saat yang bersamaan, istilah tersebut juga mengacu kepada identifikasi individu terhadap kelompok etnis tertentu, kebudayaan, kepentingan, serta tujuannya. Etnosentrisme lah yang memutuskan kesetiaan dari hal-hal lain kecuali satu kelompok etnis.
Penjelasan terhadap ini diberikan oleh Hofstede (1994) yang mengatakan bahwa setiap manusia memiliki tendensi kuat untuk memperjuangkan etnis atau bahasanya sendiri sampai mendapatkan kemerdekaan atau setidaknya pengakuan terhadap identitas mereka. Alih-alih penurunan, keecenderungan ini telah menunjukkan peningkatan sejak abad ke-20 dimulai.
Stavenhagen (1994) kemudian berargumen bahwa nasionalisme etnis menjadi sesuatu yang umum dalam masyarakat plural dan dapat dijelaskan dalam dua school ofthoughts yang berbeda: primordialis dan instrumentalis. Kelompok pertama melihat adanya 'primordial bond' yang menentukan identitas personal mereka dan secara alamiah membentuk kelompok yang lebih matang dari bangsa atau sistem kelas modern. Para instrumentalis, sementara itu, melihat identitas etnis sebagai sebuah langkah bagi masyarakat khususnya para pemimpin untuk mengejar tujuannya sendiri, seperti mobilisasi dan manipulasi kelompok untuk tujuan politis.
Dalam opini Lijiphart (1984), seluruh bangsa multietnis "...profoundly divided along religious, ideological, linguistic, cultural, ethnic or racial lies." Apa yang disebutnya sebagai 'kebohongan' dijelaskan oleh para antropolog modern sebagai instrumen stale-building. Dia juga percaya bahwa dalam masyarakat yang tcrdiri dari berbagai sub-masyarakat dengan kepentingan dan tujuan yang berbeda, fleksibilitas yang dibutuhkan untuk sebuah demokrasi modern tidak mungkin tercipta. Dalam situasi yang seperti ini, penggunaan aturan mayoritas bukan saja menjadi tidak demokratis tapi juga berbahaya karena akan terjadi eksklusi terhadap kelompok minoritas yang mungkin berujung pada usaha melawan pemerintahan.
Dalam kasus Nigeria dan berbagai negara Afrika serupa, terdapat pola berulang sehubungan dengan masalah nasionalisme etnis di negaranya—antara lain kesetiaan, komitmen, dan patriotisme dari warga negaranya.  Menurut Ekeh (1975), akar historis dari krisis tersebut berdasar pada fakta bahwa negara-negara Afrika tidak lahir dari dalam masyarakatnya (seperti kebanyakan negara Eropa Barat), tetapi dari luar—sebagai sebuah imposisi dari otoritas kolonial. Proses penciptaan struktur asing ini berbasis pada formasi politik yang bersifat artifisial dan menyatukan sub-nasionalisme yang berbeda di dalam teritori tersebut secara semu, ketika sebenarnya kelompok tersebut masih merupakan dua publik yang berbeda.
Publik yang pertama terisi dari pemerintah dan institusi modern yang sifatnya instrumental bagi negara—militer, birokrasi, pengadilan, partai politik dan sebagainya. Publik kedua adalah masyarakat primordial yang terbentuk secara sosial selama berpuluh-puluh tahun, termasuk melalui proses colonial yang tumbuh untuk memuaskan peimintaan personal dan kelompok yang tidak dapat dipenuhi pemerintah kolonial maupun pos-kolonial. Publik ini yang kemudian disebut Joseph (1987) sebagai nasionalisme etnis dan menjadi asal dari politik prebedal di Nigeria. Prebendalisme secara sederhana dapat diartikan sebagai proses untuk menggunakan posisi pemerintahan untuk mencapai kepentingan personal, parokial, maupun kelompok—spektrum ekstrim dari pelaksanaan politik identitas. Sayangnya, dualitas ini yang kemudian menjadi sumber masalah dan ketidakstabilan politik di Nigeria.





3.                  PILAR BANGSA INDONESIA
           Setiap negara pasti mempunyai pondasi/pilar/dasar-dasar negara, begitu halnya juga dengan negara Indonesia, negara Indonesia mempunyai pilar-pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak hanya satu tetapi 4 pilar. Konsep ini digagas oleh alm Taufik Kiemas, beliau menggagas konsep ini mengingat  empat pilar ini adalah mutlak dan tidak bisa dipisahkan dalam menjaga dan membangun keutuhan bangsa. Seperti halnya sebuah bangunan dimana untuk membuat bangunan tersebut menjadi kokoh dan kuat, dibutuhkan pilar-pilar atau penyangga agar bangunan tersebut dapat berdiri dengan kokoh dan kuat, begitu halnya juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini.
Lalu apa saja macam-macam 4 pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara:
1.      pancasila, Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari Sanskerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-4 Preambule (Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945.
Meskipun terjadi perubahan kandungan dan urutan lima sila Pancasila yang berlangsung dalam beberapa tahap selama masa perumusan Pancasila pada tahun 1945, tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.
Sejarah Perumusan Pancasila
Dalam upaya merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yang resmi, terdapat usulan-usulan pribadi yang dikemukakan dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yaitu :
· Lima Dasar oleh Muhammad Yamin, yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945. Yamin merumuskan lima dasar sebagai berikut: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Dia menyatakan bahwa kelima sila yang dirumuskan itu berakar pada sejarah, peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang di Indonesia. Mohammad Hatta dalam memoarnya meragukan pidato Yamin tersebut. 
· Panca Sila oleh Soekarno yang dikemukakan pada tanggal 1 Juni 1945 dalam pidato spontannya yang kemudian dikenal dengan judul “Lahirnya Pancasila“. Sukarno mengemukakan dasar-dasar sebagai berikut: Kebangsaan; Internasionalisme; Mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan; Kesejahteraan; Ketuhanan. Nama Pancasila itu diucapkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni itu, katanya:
Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa - namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.
Setelah Rumusan Pancasila diterima sebagai dasar negara secara resmi beberapa dokumen penetapannya ialah :
· Rumusan Pertama : Piagam Jakarta (Jakarta Charter) - tanggal 22 Juni 1945
· Rumusan Kedua : Pembukaan Undang-undang Dasar - tanggal 18 Agustus 1945
· Rumusan Ketiga : Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat - tanggal 27 Desember 1949
· Rumusan Keempat : Mukaddimah Undang-undang Dasar Sementara - tanggal 15 Agustus 1950
· Rumusan Kelima : Rumusan Kedua yang dijiwai oleh Rumusan Pertama (merujuk Dekrit Presiden 5 Juli 1959)
2.      Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD 1945 atau UUD ‘45, adalah hukum dasar tertulis (basic law), konstitusi pemerintahan negara Republik Indonesia saat ini.
UUD 1945 disahkan sebagai undang-undang dasar negara oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Sejak tanggal 27 Desember 1949, di Indonesia berlaku Konstitusi RIS, dan sejak tanggal 17 Agustus 1950 di Indonesia berlaku UUDS 1950. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali memberlakukan UUD 1945, dengan dikukuhkan secara aklamasi oleh DPR pada tanggal 22 Juli 1959.
Pada kurun waktu tahun 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen), yang mengubah susunan lembaga-lembaga dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
Tujuan, Pokok, Fungsi UUD1945
• Landasan Konstitusional atas landasan ideal yaitu Pancasila
• Alat pengendalian sosial (a tool of social control)
• Alat untuk mengubah masyarakat ( a tool of social engineering)
• Alat ketertiban dan pengaturan masyarakat. 
• Sarana mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin. 
• Sarana penggerak pembangunan.
• Fungsi kritis dalam hukum.
• Fungsi pengayoman
• Alat politik.
3.      Bhinneka Tunggal Ika, Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan Indonesia. Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuna dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.
Diterjemahkan per patah kata, kata bhinneka berarti “beraneka ragam” atau berbeda-beda. Kata neka dalam bahasa Sanskerta berarti “macam” dan menjadi pembentuk kata “aneka” dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti “satu”. Kata ika berarti “itu”. Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan “Beraneka Satu Itu”, yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.
Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuna yaitu kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitarabad ke-14. Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha.
Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap seperti di bawah ini:
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Terjemahan:
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
4.      NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), adalah bentuk dari negara Indonesia, dimana negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan, selain itu juga bentuk negaranya adalah republik, kenapa NKRI, karena walaupun negara Indonesia terdiri dari banyak pulau, tetapi tetap merupakan suatu kesatuan dalam sebuah negara dan bangsa yang bernama Indonesia.
Keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak dapat dipisahkan dari peristiwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, karena melalui peristiwa proklamasi tersebut bangsa Indonesia berhasil mendirikan negara sekaligus menyatakan kepada dunia luar (bangsa lain) bahwa sejak saat itu telah ada negara baru yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Apabila ditinjau dari sudut Hukum Tata Negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang lahir pada tanggal 17 Agustus 1945 belum sempurna sebagai negara, mengingat saat itu Negara Kesatuan Republik Indonesia baru sebagian memiliki unsur konstitutif berdirinya negara. Untuk itu PPKI dalam sidangnya tanggal 18 Agustus 1945 telah melengkapi persyaratan berdirinya negara yaitu berupa pemerintah yang berdaulat dengan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, sehingga PPKI disebut sebagai pembentuk negara. Disamping itu PPKI juga telah menetapkan UUD 1945, dasar negara dan tujuan negara.
Para pendiri bangsa (the founding fathers) sepakat memilih bentuk negara kesatuan karena bentuk negara kesatuan itu dipandang paling cocok bagi bangsa Indonesia yang memiliki berbagai keanekaragaman, untuk mewujudkan paham negara integralistik (persatuan) yaitu negara hendak mengatasi segala paham individu atau golongan dan negara mengutamakan kepentingan umum.
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang dibentuk berdasarkan semangat kebangsaan (nasionalisme) oleh bangsa Indonesia yang bertujuan melindungi segenap bangsa dan seluruh tampah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosil.

TUJUAN NKRI
            Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terdapat dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 alinea keempat yaitu “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.
Dari rumusan tersebut, tersirat adanya tujuan nasional/Negara yang ingin dicapai sekaligus merupakan tugas yang harus dilaksanakan oleh Negara, yaitu:
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2. Memajukan kesejahteraan umum;
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa;
4. Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social.
Setelah membahas apa saja 4 pilar berbangsa dan bernegara, lalu akan mencoba membahas kenapa 4 pilar tersebut penting untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau kita hanya berpikir bahwa Pancasila sebagai dasar dan pandangan hidup bangsa Indonesia,  juga sebagai alat pemersatu bangsa, UUD 1945 adalah merupakan konstitusi dalam bernegara. Dua hal ini saja sudah menjadi sesuatu yang sangat fundamental bagi bangsa Indonesia dalam menyelenggarakan negara,  tetapi bagi Almarhum Taufik Kiemas, dua pilar ini belumlah cukup, beliau mengeluarkan gagasan Empat Pilar Berbangsa yakni, Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam pemikiran almarhum Empat Pilar ini adalah mutlak dan tidak bisa dipisahkan dalam menjaga dan membangun keutuhan bangsa.
lalu apakah implementasi empat pilar ini sudah terlaksana dengan baik, rasanya seperti jauh panggang dari api. Dua pilar Pancasila dan UUD 1945 saja masih belum terasa penerapannya. Pancasila baru saja masuk kedalam kurikulum pendidikan, sementara amanat UUD 1945 masih banyak yang diabaikan. Semangat persatuan dan kesatuan bangsa saat ini sudah mulai tercabik-cabik, dan itu pada akhirnya akan mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Keprihatinan terhadap hancurnya persatuan dan kesatuan bangsa inilah agaknya yang menginspirasi Taufik Kiemas mengeluarkan gagasan Empat Pilar Kebangsaan. Memang kalau dicermati empat pilar ini memanglah penyanggah persatuan dan kesatuan bangsa, dan empat pilar inilah yang menjadi inspirasi kekuatan para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia, yang terus digelorakan sebagai penyemangat perjuangan mereka, lantas bagaimanakah dengan saat ini? Kita sudah kehilangan Roh ke empat pilar tersebut, melihat segala realita yang sedang terjadi di negara Indonesia ini.
Bangsa ini terutama para pemimpinnya sudah mengalami degradasi moral secara signifikan, melakukan tindak kejahatan korupsi bukan lagi dianggap sesuatu yang memalukan, kejahatan korupsi sudah dianggap prestasi dalam mengumpulkan pundi-pundi kekayaan, mengumpulkan kekayaan menjadi tugas utama mereka saat menjadi pejabat negara, sehingga tugas negara terabaikan begitu saja. Sungguh suatu hal yang sangat memilukan, melihat kondisi saat ini yang sudah tidak sesuai lagi dengan 4 pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mungkin  sudah saatnya gagasan empat pilar oleh Taufik Kiemas tersebut  sudah selayaknya dilanjutkan dan diimplementasikan secara benar, agar negara ini tidak melupakan bahwa negara ini mempunyai 4 pilar penting yang harus selalu dijaga dan juga harus dijalankan dalam setiap kehidupan berbangsa dan bernegara.







RUANG PUBLIK
            W RIAWAN TJANDRA Ruang publik yang turut berperan di wilayah politis pertama kali muncul di Inggris pada awal abad ke-18. Kala itu, kekuatan-kekuatan yang berpotensi memengaruhi kebijakan publik dan otoritas negara menyerukan kepada publik yang kritis agar merespons dan melegitimasi tuntutan-tuntutan para aktor demokrasi di hadapan forum baru ini. Pada masa itu, majelis aristokrasi diubah menjadi sebuah parlemen modern yang mampu menginisiasi transformasi kultural dan politis di seluruh Kerajaan Inggris Raya. Berbeda dengan yang terjadi di Eropa Kontinental, mereka justru memulai dengan hadirnya ruang publik sastra yang menjadi ruang bagi tuntutan serupa seperti di Inggris. Namun, pengaruh merkantilisme dalam perkembangan moda produksi kapitalis, yang di Inggris baru terjadi setelah revolusi besar, telah mengintimidasi ruang publik itu sehingga menjauhkannya dari hakikat sebuah ruang publik. Ruang publik politis negeri ini kini kian hiruk-pikuk oleh berbagai informasi dan pernyataan elite politik dan para kleptokrat politik yang justru membawa pada kondisi disinformasi yang meluas dan semiotika semu. Pertarungan antara energi politik (politisasi), hukum (law enforcement dan criminal justice system), dan ekonomi (moda produksi, komodisasi, dan iklan) terjadi secara banal dan brutal di ruang publik. Publik dipaksa melakukan lompatan kecerdasan untuk mampu memilih dan memilah informasi serta menyikapinya melalui pertaruhan semiotis, yang tak jarang mendekonstruksi makna suatu kebenaran hakiki. Negara kini berada di antara ada dan tiada dalam sebuah ruang publik di arena pertarungan informasi yang banal untuk mereproduksi simbol dan membelah makna sebanyak yang diinginkan para aktor yang berkontestasi di ruang publik politis. Filsuf Hegel mempercayai arti penting negara. Jika hanya ada masyarakat sipil sebagai suatu "sistem kebutuhan", kekuatan-kekuatan sentrifugal akan menang dan masyarakat akan terpecah-belah. Pada kondisi inilah seharusnya negara tampil karena hakikat negara adalah sebuah institusi yang bermotivasi dan memproteksi kepentingan umum. Dalam hal ini, pandangan Hegel sejalan dengan Thomas Hobbes bahwa hukum negara harus mampu mengatasi beragam kepentingan dalam kerangka memberikan kebebasan bagi warga negara. Hegel juga meyakini, negara melalui hukum mampu mengatasi kecenderungan-kecenderungan anarkis masyarakat yang hanya dimotivasi egoisme individu dan fragmentarisasi tuntutan. Dalam pertarungan kepentingan di ruang publik politis, para penegak hukum berasumsi menghadirkan "teori hukum murni", yang diintroduksi oleh Hegel untuk mengatasi konspirasi dan politisasi. Membaca semiotika publik dalam merespons banalitas ruang publik terlihat bahwa masyarakat pun merindukan hadirnya sebuah "hukum murni" yang mampu berdiri di atas beragam kepentingan dan menganalisasi keadilan menjadi sebuah diktum putusan pengadilan. Kehadiran sistem juri di negara-negara bersistem common law, yang merupakan hasil pergulatan sejarah hukum yang panjang di negara-negara tersebut, konon tidak lepas dari kehendak untuk memberi ruang bagi apa yang oleh FG Forster (1973) disebut sebagai "roh publik". Hal itu dapat menghubungkan perlawanan politis dengan perasaan rakyat. Hukum yang adil adalah hukum yang sesuai dengan "roh publik", baik yang dimanifestasikan melalui proses legislasi maupun lewat ketukan palu hakim di meja-meja pengadilan. Banalitas ruang publik di negeri ini, yang kian mempertontonkan sebuah kompetisi di pasar informasi yang chaotic, sesungguhnya ingin menyampaikan pesan mengenai kian karut-marutnya sebuah pengelolaan negara yang telah kehilangan roh publik dan hukum yang kian terintimidasi.





STATENATIONAL
NATION STATE DAN KEPENTINGAN NASIONAL 


Pendahuluan
            Nation sering diartikan sebagai bangsa. Bangsa (nation) dapat didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang memiliki kesamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarah, serta memiliki pemerintahan sendiri. Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, negara adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai di mana kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama, baik oleh individu, golongan atau asosiasi, maupun oleh negara sendiri.
            Kepentingan nasional secara konseptual, dipergunakan untuk menjelaskan perilaku politik luar negeri dari suatu negara. Orang-orang yang memiliki pemikiran aliran realis dalam studi hubungan internasional yang secara sistematis merumuskan dan mendukung premis bahwa strategi diplomasi harus didorong oleh kepentingan nasional. Dan pandangan ini berbeda dengan kelompok aliran pemikiran idealis, bahwa masalah kepentingan nasional senantiasa dengan nilai-nilai moral, legalitas dan kriteria ideologis.
Nation State dan Kepentingan Nasional
Nation State
Dalam  melihat bentuk negara, terdapat beberapa konsep yang menjadi diskursus bagi para pemikir, diantara diskursus tersebut adalah negara dalam bentuk negara bangsa (nation state). Sebuah  negara bangsa adalah suatu jiwa, sebuah prinsip kerohanian, dengan landasan nasionalisme yang merupakan suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi harus diserahkan kepada negara kebangsaan yang didalamnya terdapat unsur etnisitas, bahasa dan agama sebagai identitas bersama (common identity). Ia juga mempunyai unsur lain yang bersifat kontraktual, karena ia muncul secara artifisal dan didesak oleh suatu kebutuhan kontrak sosial, dengan didalamnya terdapat sebuah ikatan timbal balik yang berbentuk hak dan kewajiban antar negara bangsa dengan warganya.
Negara bangsa adalah suatu  gagasan tentang negara yang di dirikan untuk seluruh bangsa atau untuk seluruh umat, berdasarkan kesepakatan bersama yang menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan kesepakatan itu. Negara Bangsa merupakan hasil sejarah alamiah yang semi kontraktual dimana nasionalisme merupakan landasan bangunannya yang paling kuat. Nasionalisme dapat dikatakakan sebagai sebuah situasi kejiwaan dimana kesetiaan seseorang secara total diabdikan langsung kepada negara bangsa atas nama sebuah bangsa. Dalam situasi perjuangan kemerdekaan, di butuhkan suatu konsep sebagai dasar pembenaran rasional dari tuntunan terhadap penentuan nasib sendiri yang dapat mengikat ke-ikutsertaan semua orang atas nama sebuah bangsa. Dasar pembenaran tersebut, selanjutnya mengkristal dalam konsep paham ideologi kebangsaan yang biasa disebut dengan nasionalisme. Dari sinilah kemudian lahir konsep-konsep turunannya seperti bangsa (nation), negara (state) dan gabungan keduanya menjadi konsep negara bangsa (nation state) sebagai komponen-komponen yang membentuk identitas nasional atau kabangsaan.
Bahwa setiap orang dalam negaranya masing-masing memiliki nasionalitas yang sama, dan demikian juga bahasa yang sama, dan dapat berperan serta dalam perdebatan yang bermakna mengenai kebudayaan, akan tetapi kebanyakan negara adalah multi-kebangsaan yang terdiri dari dua atau lebih komunitas bahasa. Dengan demikian bangsa (nation) merupakan suatu badan atau wadah yang didalamnya terhimpun orang-orang yang memiliki persamaan keyakinan yang mereka miliki seperti ras, etnis, agama, bahasa dan budaya. Dan gabungan dari dua ide tentang bangsa (nation) dan negara (state) tersebut terwujud dalam sebuah konsep tentang negara bangsa atau lebih dikenal dengan Nation-State dengan pengertian yang lebih luas dari sekedar sebuah negara dalam pengertian state.
Kepentingan Nasional
Kepentingan nasional secara konseptual, dipergunakan untuk menjelaskan perilaku politik luar negeri dari suatu negara. Umpamanya, pada saat jepang memberikan bantuannya kepada Indonesia, itu didasarkan kepada kepentingan nasionalnya yakni, menjamin kelancaran atas pasok bahan dasar industrinya. Demikian juga ketika pemerintah Indonesia memberikan bantuannya kepada Nelson Mandela yang berkaitan dengan kepentingan nasional Indonesia di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan masalah Timor-Timor.
Namun di samping kepopuleran konsep kepentingan nasional tersebut, ada kendala dijumpai pada saat awal konseptualisasi dan definisi dari para ilmuan dan praktisi politik hubungan internasional yang lahir dari berbagai variasi pendapat dan pandangan-pandangan. Dalam upaya mencari justifikasi pandangan tentang konsepsi kepentingan nasional maka dalam hal ini Hans J. Morghentau, Frederick L. Schumann, George F. Kennan dan Henry A. Kissinger termasuk orang-orang yang memiliki pemikiran aliran realis dalam studi hubungan internasional yang secara sistematis merumuskan dan mendukung premis bahwa strategi diplomasi harus didorong oleh kepentingan nasional. Dan pandangan ini berbeda dengan kelompok aliran pemikiran idealis, bahwa masalah kepentingan nasional senantiasa dengan nilai-nilai moral, legalitas dan kriteria ideologis.
Arti minimum yang inheren dengan konsep kepentingan nasional adalah kelangsungan hidup (survival). Maka dalam kaitan ini hans J. Morghentau mengatakan bahwa kemampuan minimum bangsa-bangsa adalah untuk melindungi identitas fisik, politik dan identitas budaya mereka oleh gangguan-gangguan negara-negara lain. Diterjemahkan dalam arti lebih khusus, negara-negara harus mempertahankan integritas wilayahnya (phisical identity), mempertahankan identitas politik (political identity), mempertahankan rezim-rezim ekonomi politiknya seprti misalnya demokratis kompetitif, komunisme, kapitalisme, sosialisme, otoriter dantotaliter dan sebagainya. Dalam perbandingan terhadap identitas cultural senantiasa berkaitan dengan etnis, agama, bahasa, norma-norma, dan sejarahnya.
Dari pengertian yang ditinjau secara umum ini kalau menurut Hans J. Morghentau, seorang negarawan bisa menurunkan kebijaksanaan-kebijaksanaannya yang secara khusus (spesifik) baik itu yang bersifat kerjasama (cooperative) maupun itu yang bersifat tindakan kekerasan (konfliktual) seperti halnya dalam kerangka perlombaan senjata nuklir, balance of power, subversi, perang ekonomi, dan propaganda. Namun dmeikian yang mewarnai perdebatan tentang konsep kepentingan nasional yang menimbulkan bebagai pertanyaan-pertanyaan semuanya mengarah kepada formulasi bahwa kepentingan nasional itu merupakan konsep politik.
Hans J. Morghentau mengasumsikan bahwa sistem internasional bukanlah suatu sistem yang penuh dengan keharmonisan (keselasaran) namun bukan juga sebuah sistem yang ditakdirkan untuk sellau menimbulkan peperangan. Diasumsikan bahwa pada tingkat-tingkat tertentu, ada sajaj konflik-konflik dan ancaman perang dan semuanya itu dapat dikurangi (dieliminir) dengan cara sedikit demi sedikit menyesuaikannnya dengan kepentingan-kepentingan yang saling bertentang dengan melalui tindakan-tindakan diplomatik. Maka dlam hal ini Morghentau menentang atas tindakan suatu negara yang didasarkan kepada prinsip-prinsip abstark dan prinsip-prinsip yang bersifat universal selain kepentingan nasional.
Dalam kaitannya dengan kepentingan nasional, kepentingan regional, ataupun dengan kepentingan suatu aliansi, Hans J. Morghentau mengatakan bahwa kepentingan nasional mendominasi kepentingan regional. Bagi pandangannya, manaat aliansi lebih baik didukung oleh dasra-dasar keuntungan dan keamanan yang timbal-balik dari negara-negara yang ikut serta (mutual security of participating nations-state) bukan atas dasar dan prinsip-prinsip ideologis dan moral.
Kesimpulan
            Negara-Bangsa adalah suatu perjanjian antara rakyat dan pemerintahnya tanpa batas-batas geografis yang jelas. Konsep Negara-Bangsa mewakili rakyat, memberikan kepada rakyat sebuah perasaan, yaitu mereka merupakan bagian dari sebuah kesatuan. Konsep ini  mengakomodasikan harapan dan aspirasi rakyat, yang memberi Negara kesetiaan. Rakyat dengan rela berkorban demi sebuah konstruksi abstrak yang disebut konsep Negara-Bangsa.
Banyak bangsa tanpa negara yang berhasil menanamkan keinginan yang hampir sama untuk berkomitmen kepada suatu ide abstrak. Tetapi, sampai sistem-kepercayaan tersebut digabungkan pada sebuah negara formal, dengan yurisdiksi sah dan hukum-hukum umum mengenai kerakyatan, mereka tidak dapat dimasukkan pada kategori yang sama. 
Secara konseptual kepentingan nasional adalah nilai-nilai dasar yang terpelihara dan dipertahankan oleh suatu negara dalam mencapai tujuannya. Kepentingan nasional menyangkut beberapa unsur yaitu:keutuhan wilayah dan bangsa,menjaga SDA dan SDM,berbagai aspek seperti ekonomi,politik,sosial,budaya,hankam,serta peranan suatu negara dalam lalu lintas hubungan antar negara. Kepentingan nasional suatu negara memiliki beberapa tingkatan yaitu: Sangat Vital,meliputi survive-nya suatu bangsa serta menjaga keutuhan wilayah dan pertahanan keamanan. Vital,meliputi beberapa aspek seperti politik,ideologi,serta ekonomi. Kurang vital,meliputi aspek sosial dan budaya


KESIMPULAN
Konsep Negara Bangsa (Nation State) adalah konsep tentang negara modern yang terkait erat dengan paham kebangsaan atau nasionalisme. Negara bangsa adalah suatu  gagasan tentang negara yang di dirikan untuk seluruh bangsa atau untuk seluruh umat, berdasarkan kesepakatan bersama yang menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan kesepakatan itu. kepentingan nasional adalah nilai-nilai dasar yang terpelihara dan dipertahankan oleh suatu negara dalam mencapai tujuannya. Kepentingan nasional menyangkut beberapa unsur yaitu: keutuhan wilayah dan bangsa, menjaga SDA dan SDM,berbagai aspek seperti ekonomi,politik,sosial,budaya,hankam,serta peranan suatu negara dalam lalu lintas hubungan antar Negara.



Daftar Pustaka :